UNDANG UNDANG YANG TERKAIT TENTANG PERATURAN PEMBANGUNAN
ZBAB
I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR
BELAKANG
Hukum
adalah peraturan atau adat yg secara resmi dianggap mengikat, yg dikukuhkan
oleh penguasa atau pemerintah; undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur
pergaulan hidup masyarakat; patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa
(alam dsb) yg tertentu; keputusan (pertimbangan) yg ditetapkan oleh hakim (dl
pengadilan); vonis
Sedangkan
Pranata adalah interaksi antar individu/kelompok/kumpulan, pengertian individu
dalam satu kelompok dan pengetian individu dalam satu perkumpulan memiliki
makna yang berbeda.
Pembangunan
adalah perubahan individu/kelompok dalam kerangka mewujudkan peningkatan
kesejahteraan hidup.
Hukum Pranata Pembangunan di Indonesia
Untuk
membahas masalah hukum pranata pembangunan di Indonesia, pertama-tama kita
harus mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud dengan hukum pranata pembangunan,
menurut kamus besar bahasa Indonesia
Hukum
Pranata Pembangunan adalah peraturan resmi yang mengikat yang mengatur tentang
interaksi antar individu dalam melakukan perubahan untuk mewujudkan peningkatan
kesejahteraan hidup.
Dalam
arsitektur khususnya Hukum Pranata Pembangunan lebih memfokuskan pada
peningkatan kesejahteraan hidup yang berhubungan dengan interaksi individu
dengan lingkungan.
Interaksi yang terjadi menghasilkan hubungan kontrak antar individu yang terkait sepertiadalah pemilik (owner), konsultan (arsitek), kontraktor (pelaksana), dan unsur pendukung lainnya dalam rangka mewujudkan ruang/bangunan untuk memenuhi kebutuhan bermukim.
Interaksi yang terjadi menghasilkan hubungan kontrak antar individu yang terkait sepertiadalah pemilik (owner), konsultan (arsitek), kontraktor (pelaksana), dan unsur pendukung lainnya dalam rangka mewujudkan ruang/bangunan untuk memenuhi kebutuhan bermukim.
Hukum pranata pembangunan memiliki empat unsur
:
·
Manusia : Manusia
merupakan unsur pokok dan sumber daya utama.Karena manusialah yang bertugas
sebagai pengelola juga pemakai hukum yang ada.Sehingga mausia jugalah yang
menentukan arah pengembangan dari suatu pembangunan.
·
Sumber daya alam
: Sumber daya alam disini menjadi material pembuatan
suatu infrastruktur.Tanpa adanya sumber daya yang mendukung maka
pembangunan akanterhambat.
Sumber daya alam perlu waktu dalam prosesnya untuk terbentuk kembali .
Sumber daya alam perlu waktu dalam prosesnya untuk terbentuk kembali .
Untuk
itu perlu aturan agar sumber daya alam ini tetap terjaga atau tidak di
ekploitasi secara besar-besaran sehingga dapat pula dikembangkan atau bahkan
melakukan penelitian untuk menemukan sesutu yang baru sembari sumber daya alam
yang lain terbentuk kembali.Selain itu juga perlu dilakukan uji untuk
menyatakan bahwa material tersebut aman atau tidak.
·
Modal : Modal
berperan dalam pesat tidaknya pembangunan suatu daerah.Semakin pesat
daerah itu berkembang maka semakin banyak pula modalnya.Harus ada
aturan yang mengatur agar para pemilik modal yang besar ini tidak
seenaknya sendiri melakukan pembangunan.Disini peraturan/hukum
berperan dalam kontrol para pemilik modal ini agar tidak sampai mengganggu
unsur yang lain seperti SDA ataupun manusia juga lingkungan.
·
Teknologi
: Teknologi berperan dalam efisiensi pembangunan sehingga dapat
mempermudah dan mempercepat suatu proses pembangunan.Aturan disini berperan
dalam pembuatan standarisasi teknologi tertentu sesuai kebutuhan masing-masing
pembangunan agar kualitas pembangunan tersebut tidak melenceng(punya kualitas
rendah) .
Hukum
pranata pembangunan mengatur interaksi antar pelaku pembangunan baik secara
individu/kelompok sesuai tatanan hukum dan aturan yang berlaku sehingga
terwujudnya kenyaman dan kesejahteraan hidup.
Hukum dan
pranata dalam bidang arsitektur lebih memfokuskan penyejehteraan hidup
individu/kelompok dan interaksinya dengan lingkungan
binaan. Interaksi yang terjadi menghasilkan hubungan kontrak antar
individu/kelompok yang terkait seperti halnya adalah pemilik (owner), konsultan
(arsitek), kontraktor (pelaksana), dan unsur pendukung lainnya dalam rangka
mewujudkan tatanan ruang/bangunan untuk memenuhi kebutuhan individu baik dalam
hal pemenuhan kebutuhan hidup maupun pelestarian lingkungan.
Struktur
Hukum Pranata di Indonesia :
1. Legislatif (MPR – DPR) Pembuat produk hukum
2. Eksekutif (Presiden – pemerintahan) pelaksana perUU yang
dibantu oleh kepolisian (POLRI)
3. Yudikatif (MA / MK) sebagai lembaga penegak keadilan
Mahkamah Agung (MA) beserta pengadilan tinggi (PT) dan Pengadilan Negeri (PN)
se Indonesia mengadili perkara yang kasuistik; sedangkan Mahkamah Konstitusi
(MK) mengadili perkara peraturan perUU
4. Lawyer, pihak yang mewakili klien untuk berperkara di
pengadilan, dsb.
5.
1.2.
RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Bagaimana aspek hukum peraturan UU No 4 Tahun 1992?
1.2.2 Bagaimana saja isi dari kebijakan hukum tentang
pembangunan pemukiman?
1.2.3 Apa saja isi dari hukum perikatan yang berlaku di negara
ini?
1.3 TUJUAN
1.3.1 Mengerti
aspek hukum
dan pranata pembangunan lebih tepatnya tentang UU No. 4 Tahun 1992
1.3.2 Mengetahui spesifikasi
dari rumah susun
1.3.3 Memahami
kasus apa aja yang masuk ke dalam pelanggaran hukum pranata pembangunan
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.ASPEK
HUKUM PERATURAN UU
NO. 4 TAHUN 1992
Untuk memajukan kesejahteraan
umum sebagaimana dimuat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dilaksanakan pembangunan
nasional, yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan
pembangunan kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah, dalam suatu masyarakat
Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila.
Perumahan dan permukiman
merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis
dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta
dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan
masyarakat.
Perumahan dan permukiman tidak
dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari
itu merupakan proses bermukim manusia
dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya, dan
menampakkan jati dirinya.
Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam pembangunan dan pemilihan setiap pembangunan rumah hanya dapat dilakukan di atas tanah yang
dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah sesuai dengan peraturan
perundangan-undangan yang berlaku.
Sistem penyediaan tanah untuk
perumahan dan permukiman
harus ditangani secara nasional karena tanah merupakan sumber daya
alam yang tidak dapat bertambah akan tetapi harus digunakan dan dimanfaatkan
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Proses penyediaannya harus
dikelola dan dikendalikan oleh pemerintah agar supaya penggunaan dan
pemanfaatannya dapat menjangkau masyarakat secara adil dan merata tanpa
menimbulkan kesenjangan ekonomi dan sosial dalam proses bermukimnya masyarakat.
Untuk mewujudkan perumahan dan permukiman dalam rangka
memenuhi kebutuhan jangka pendek, menengah dan panjang dan sedang dengan
rencana tata ruang, suatu wilayah permukiman ditetapkan sebagai kawasan siap
bangun yang dilengkapi jaringan prasarana primer dan sekunder lingkungan.
Penyelenggaraan pembangunan
perumahan dan permukiman mendorong dan memperkukuh demokrasi ekonomi serta
memberikan kesempatan yang sama dan saling menunjang antara badan usaha negara,
koperasi, dan swasta berdasarkan asas kekeluargaan.
Pembangunan di
bidang perumahan dan
permukiman yang bertumpu
pada masyarakat memberikan hak
dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berperan serta.
Disamping usaha peningkatan
pembangunan perumahan dan permukiman perlu diwujudkan adanya ketertiban dan
kepastian hukum dalam pemanfaatan dan pengelolaannya.
Sejalan dengan peran serta masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan
permukiman, pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk melakukan
pembinaan dalam wujud pengaturan dan pembimbingan, pendidikan dan pelatihan,
pemberian bantuan dan kemudahan, penelitian dan pengembangan yang meliputi
berbagai aspek terkait antara lain tata ruang, pertanahan,prasarana
lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan,
sumber daya manusia serta peraturan perundang-undangan.
HUKUM
DAN PRANATA PEMBANGUNAN UNDANG - UNDANG NO.4 tahun 1992 tentang Perumahan &
Pemukiman. Dalam Undang - Undang ini terdapat 10 BAB (42pasal) antara lain yang
mengatur tentang :
1.
Ketentuan Umum ( 2 pasal )
2.
Asas dan Tujuan (2 pasal )
3.
Perumahan ( 13 pasal )
4.
Pemukiman ( 11 pasal )
5.
Peran Serta Masyarakat ( 1 pasal )
6.
Pembinaan (6 pasal )
7.
Ketentuan Piadana ( 2 pasal )
8.
Ketentuan Lain - lain ( 2 pasal )
9.
Ketentuan Peralihan ( 1 pasal )
10.
Ketentuan Penutup ( 2 pasal )
2.2.KEBIJAKAN TENTANG RUMAH SUSUN
Ø RUSUNAWA atau Rumah
Susun Sederhana Sewa
adalah Rusuna yang
status kepemilikannya adalah Hak Milik (mengikuti pola strata title), merupakan
tipologi baru dalam rangka mempercepat penyediaan unit hunian guna memenuhi
kebutuhan yang sudah sangat mendesak. Proses pengadaannya melibatkan pihak
swasta karena keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah. Rusunawa
umumnya memiliki tampilan yang kurang lebih sama dengan rusunami, namun bedanya
penggunanya harus menyewa dari pengembangnya.
Ciri
utama hunian Rusuna
adalah luas lantai unitnya yang kecil, sekedar memenuhi kebutuhan minimal bagi
satu keluarga serta berbagi prasarana / utilitas / fasilitas tertentu.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan harga yang terjangkau serta biaya operasi
atau pemeliharaan yang rendah. Padahal kebanyakan masyarakat golongan ini
rata-rata memiliki jumlah anggota yang cukup banyak, artinya rasio penggunaan
ruang menjadi semakin kecil. Hal ini berdampak pada rendahnya rasio penggunaan
luas lantai, dengan kata lain jumlah populasi dibanding luas lantai menjadi
tinggi. Dengan KLB tertentu akan ditempati oleh populasi yang lebih besar
dibanding penggunaan fungsi lainnya (hunian mewah, perkantoran, komersial,
dll).
Pengelolaan
Rumah Susun, Pengelolaan pada rumah
susun meliputi kegiatan operasional, pemeliharaan, dan perawatan
bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Pemeliharaan adalah kegiatan
menjaga keandalan gedung beserta prasarana dan sarana saranaya agar selalu baik
fungsi, sedangkan perawatan merupakan kegiatan memperbaiki dan mengganti bagian
bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, sarana prasarana agar bangunan
gedung tetap baik fungsi. Kegiatan pengelolaan pada Rumah Susun Umum Milik dan
Rumah Susun Umum Komersial wajib dilaksanakan oleh pengelola yang berbadan
hukum dan mendapatkan izin usaha dari pemerintah daerah.
ü Pasal 74 ayat (1) UU
Rumah Susun mewajibkan pemilik Sarusun untuk membentuk Perhimpunan Pemilik dan
Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS). PPPSRS merupakan badan hukum yang
bertugas untuk mengurus kepentingan para pemilik dan penghuni yang berkaitan
dengan pengelolaan kepemilikan benda bersama, bagian ebrsama, tanah bersama,
dan penghunian yang dituangkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
PPPSRS.
ü Peraturan mengenai
Rusun
ü Undang-Undang tentang
Rumah Susun (Rusun) akhirnya disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi
Undang-Undang Rusun (UU Rusun) lewat sidang paripurna pada 18 Oktober 2011.
Undang-Undang ini merupakan produk hukum kedua di bidang perumahan yang
dihasilkan dalam dua tahun terakhir, setelah sebelumnya disahkan Undang-Undang
Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
ü UU Rusun ini terdiri
dari 19 Bab dan 120 Pasal yang diharapkan dapat mendorong pembangunan hunian
vertikal bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di Indonesia. Legislatif
membutuhkan waktu panjang hingga tiga kali masa persidangan untuk menyelesaikan
pembahasan 711 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
ü UU Rusun yang baru
disahkan itu merupakan amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985
tentang Rumah Susun yang dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan
zaman, termasuk angka kekurangan (backlog) rumah yang terus meningkat. DPR dan
pemerintah menjamin produk undang-undang hasil amandemen ini lebih
komprehensif.
ü Sesuai pasal 5 ayat 1
dan 2 UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun menyebutkan bahwa negara
bertanggungjawab atas penyelenggaraan rumah susun yang pembinaannya
dilaksanakan oleh pemerintah yakni Menteri pada tingkat nasional,
Gubernur di tingkat provinsi serta Bupati/Walikota pada tingkat Kabupaten/
Kota. Selain itu mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang
Rusun pasal 73 bahwa pengaturan dan pembinaan dilakukan oleh Kemenpera terkait
Kebijakan Umum, Kementerian PU terkait kebijakan teknis dan kemudahan
perkreditan dan perpajakan diatur Kemenkeu serta bentuk dan tata cata pembuatan
buku tanah dan penerbitan sertifikat hak milik atas satuan Rusun oleh BPN.
Menurut
peraturan perundangan, para pihak yang terlibat dalam pembangunan dan
pengelolaan Rumah Susun adalah:
1. Penyelenggaraan pembangunan, dalam hal ini Pengembang;
2. Perhimpunan penghuni, yang akan dibentuk para penghuni
(owner unit) dengan dibantu oleh penyelenggara pembangunan dan dituangkan
dalam suatu Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang wajib dipatuhi oleh
para penghuni/pemilik;
3. Badan Pengelola, yang akan ditunjuk oleh perhimpunan
penghuni untuk mengelola Rumah Susun tersebut dengan upah dan biaya-biaya
yang akan disetujui oleh Rapat Umum Anggota Perhimpunan penghuni. Badan
pengelola ini dapat saja dibentuk oleh perhimpunan sendiri, tetapi
lazimnya pengelolaan diserahkan kepada Properti manajemen yang profesional;
4. Penghuni, dalam hal ini para pemilik unit sarusun yang
akan menjadi anggota Perhimpunan Penghuni dan memiliki hak suara dalam
menentukan jalannya pengelolaan.
Konsekuensi
dari adanya hak bersama, tentunya ada pula kewajiban bersama untuk menjaga,
merawat, dan mengoperasikan benda-benda/bagian-bagian bersama tersebut. Oleh
karenanya, kewajiban para penghuni untuk menanggung biaya yang meliputi:
1. Biaya Pengelolaan (Service Charge), sebaiknya
nilainya ditentukan di muka oleh pengembang dan dicantumkan dalam PPJB.
Nantinya dapat berubah sesuai dengan
2. kebutuhan setelah Perhimpunan Penghuni definitif
terbentuk, Dipergunakan oleh Badan Pengelola untuk mengoperasikan Rumah Susun
tersebut, termasuk untuk membayar gaji-gaji pegawai Badan Pengelola;
3. Dana Cadangan (Sinking Fund), yang akan
dipergunakan untuk perbaikan-perbaikan besar Rumah Susun. Contoh, pengecatan
(re-painting), lift atau penggantian/up grade M/E, dan lain-lain;
4. Rekening-rekening, dibayarkan untuk penggunaan
masing-masing unit, meliputi listrik, air, dan telepon.
Hal-hal
semacam di atas tidak dikenal dalam kepemilikan/pengelolaan Single House. Yang
perlu diperhatikan dalam memilih untuk membeli Apartemen, di antaranya:
·
Lokasi, apakah cukup prospektif
atau berkembang sehingga masih berpeluang untuk adanya kenaikan harga? (Jika
Anda ingin berinvestasi);
·
Bukti kepemilikan tanah oleh
pengembang harus sudah ada pada saat dipasarkan;
·
Izin lokasi (SIPPT jika di DKI
Jakarta) untuk memastikan peruntukan tanahnya agar izin-izin lainnya
dipastikan dapat diterbitkan oleh instansi yang berwenang;
·
Bonafiditas, pengembang termasuk
pengalaman pengembang beserta tim konsultannya, untuk meyakinkan Anda bahwa
proyek Apartemen itu tidak asal jadi;
·
Draft perjanjian. Mintalah draft
PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) pada saat Anda membayar angsuran I. Pelajari
dengan teliti hal-hal yang dapat merugikan Anda, khususnya luas ukuran unit,
tanggal serah terima, denda keterlambatan, spesifikasi, serta pemutusan
sepihak.
Jika
terdapat hal-hal yang kurang cocok, dapat dinegosiasikan dengan pengembang.
Permasalahan hukum yang dialami
para pembeli rumah susun (Rusun) timbul dari hal-hal sebagai berikut:
Pada saat membeli Rusun umumnya
para pembeli buta sekali terhadap undang-undang atau hukum yang berlaku bagi
Rusun;
Para pembeli menandatangani
Perjanjian Pengikatan Jual-Beli (PPJB) yang menyimpang, yang mengandung banyak
klausul baku yang sebenarnya dilarang oleh UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Karena pembeli telah menandatangani PPJB yang panjang
lebar, tulisan kecil, didesak kenaikan harga, dan tidak boleh dibawa pulang
itu, akibatnya penjual selalu memakai PPJB itu sebagai alat paksa kepada para
pembeli. Akibat selanjutnya para pembeli menjadi terhalang untuk menjalankan
haknya sebagai konsumen;
PPJB yang benar harusnya tidak
mengandung peraturan maupun sanksi tentang hal-hal yang berhubungan dengan
penghunian maupun pengelolaan Rusun nantinya. PPJB yang menyimpang sebenarnya
batal demi hukum, namun yang demikian itu pun para pembeli tidak tahu;
Karena para pembeli buta hukum,
mereka tidak tahu bahwa mereka wajib berhimpun dalam Perhimpunan Pemilik dan
Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) seperti tertera pada Pasal 74 Ayat (1) UU
Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun;
Dalam UU Rumah Susun itu PPPSRS
diberi status Badan Hukum, sebagai representasi yang sah secara hukum dari
seluruh pemilik dan penghuni untuk menjalankan segala sesuatunya buat
kepentingan bersama, di luar Rapat Umum Anggota. Jadi ada kekosongan dalam
kesadaran hukum tentang Rusun di kalangan para pembeli.
Ketidaksadaran hukum para pembeli
ini dimanfaatkan oleh penjual Rusun atau pelaku pembangunan dengan cara sebagai
berikut:
ü
Meski
Pasal 75 Ayat (1) UU Rumah Susun mengatakan bahwa pelaku pembangunan wajib
memfasilitasi terbentuknya PPPSRS (hanya memfasilitasi), tetapi ia malah
membentuk dan menguasai PPPSRS yang dibentuk secara di luar prosedur hukum. Ini
menjadi kenyataan yang berlangsung selama puluhan tahun dan diakui oleh para
pemilik;
ü
Pelaku
pembangunan membuat aturan tata tertib Rapat Umum, menyelenggarakan Rapat Umum
Anggota, dan mengesahkan AD/ART, padahal secara hukum yang boleh
menyelenggarakan Rapat Umum Pembentukan PPPSRS hanyalah para pemilik yang
sekaligus sebagai penghuni Rusun. Para penghuni non-pemilik oleh undang-undang
tidak diberikan hak suara memilih dan dipilih dalam Rapat Pembentukan PPPSRS
karena mereka bukan pemilik;
ü
Pelaku
pembangunan atau penjual, apabila masih punya unit yang belum dijual, secara
hukum ia hanya berstatus pemilik atas unitnya seperti halnya para pembeli.
Tidak ada pasal yang mengatakan bahwa penjual boleh membentuk PPPSRS, karena
hak suaranya hanya satu;
ü
Yang
menyedihkan lagi, Pemerintah Daerah DKI Jakarta melalui tangan Dinas Perumahan
dan Gedung mengesahkan dan mengakui adanya PPPSRS, tata tertib Rapat Umum, dan
AD/ART bentukan penjual atau pelaku pembangunan yang nyata-nyata merugikan
posisi hukum para pembeli. Pengesahan oleh Pemda ini selalu menjadi senjata
pamungkas bagi penjual Rusun atau pelaku pembangunan bila ada pembeli yang
melakukan protes kepadanya;
ü
Dalam
AD/ART yang disahkan itu biasanya mengandung tiga penyimpangan undang-undang
yang sangat nyata, antara lain yakni a) Kepemilikan hak suara dalam Rapat Umum
didasarkan atas Nilai Perbandingan Proporsional (NPP). Dengan demikian siapa
yang kaya, banyak punya unit, memiliki hak suaranya lebih dari yang punya hanya
satu unit; b) Penggunaan hak suara dapat diwakilkan dengan cara memberi surat
kuasa; c) Penyelewengan hukum atas Pasal 74 Ayat (1) UU Rumah Susun yang
berbunyi, 'Pemilik Sarusun wajib membentuk PPPSRS' dengan menambahkan kata
'terutama' di depan kalimat asli ayat tersebut menjadi 'Terutama pemilik
Sarusun wajib membentuk PPPSRS'. Dengan penambahan kata 'terutama' itu
akibatnya siapa saja wajib membentuk PPPSRS; d) Keadaan lemahnya posisi hukum
para pembeli ini lebih diberatkan lagi dengan aksi penjual untuk menunda
pemecahan sertifikat kepemilikan untuk memungkinkan dibuatnya Akta Jual Beli
(AJB) yang kemudian harus disusul Balik Nama kepemilikan.Karena mundurnya waktu
pemindahan hak ini kemudian pelaku pembangunan masih bisa mendaftarkan Rusun
yang telah dilunasi para pembeli sebagai miliknya dalam penghitungan aset dalam
laporan keuangan dalam Penawaran Umum Perdana maupun Rapat Umum Pemegang Saham
Tahunan. Karena tertundanya pengalihan hak milik (dalam sertfikat) yang sangat
mungkin disengaja penjual, pembeli yang telah membayar lunas dikatakan bukan
pemilik karena tidak memiliki sertifikat. KUHPerdata mengatur bahwa pembeli
yang telah membayar lunas barang yang dibeli ia dinyatakan sebagai pemilik sah
atas barang yang dibeli. Ini merujuk pada KUH Perdata Pasal 1474, 1475, 1477,
dan 1482;
ü
Para
pemilik telah membuat protes dan meminta kebenaran ditegakkan tetapi sampai
sekarang belum berhasil karena pemerintah belum membantu dan tetap mengakui
pelaku pembangunan sebagai pemilik PPPSRS, tata tertib Rapat serta AD ART yang
dibuat pelaku pembangunan;
ü
Para
pemilik yang sadar hukum berupaya susah payah membentuk PPPSRS secara taat
tetapi sampai sekarang belum disahkan atau diakui keberadaannya oleh
pemerintah.Dinas Perumahan pura-pura berlaku tidak memihak dengan cara menjadi
penengah antara PPPSRS milik pelaku pembangunan dan PPPSRS asli milik para
pemilik Rusun. Sebenarnya pemerintah mestinya menjadi eksekutor hukum bukan
menjadi penengah antara si pelanggar hukum melawan pihak yang taat Hukum.
Sangat menyedihkan bahwa para oknum pemegang kekuasaan eksekutif sepertinya
berpihak kepada pelanggar hukum dan tidak mengusahakan penegakan hukum seperti
seharusnya;
ü
Para
pembeli, karena kurang tahu hukum, biasanya tidak mempermasalahkan dasar
penyimpangan hukumnya tetapi hanya keberatan atas akibatnya yang langsung
mengenai dirinya seperti: a) Tampilnya pengelola menjadi penguasa di Rusun
mewakili pelaku pembangunan. Memang undang-undang mewajibkan pelaku pembangunan
melakukan pengelolaan Rusun paling lama satu tahun dalam masa transisi, sebelum
PPPSRS terbentuk. Tetapi setelah itu ia wajib mengalihkan hak pengelolaan
kepada representasi para pemilik atau gabungan pemilik yaitu PPPSRS; b)
Pengelola atas nama pelaku pembangunan selalu secara sepihak menaikkan tarif
Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) tanpa berkonsultasi dengan para pemilik
ü
Sebagai
gambaran, di kawasan yang telah diatur para pemilik sendiri seperti Menara
Latumeten dan Gading Icon, IPL hanya sebesar Rp7.000/m2/bulan tetapi di kawasan
yang masih dikuasai PPPSRS pelaku pembangunan kebanyakan IPL sebesar antara
Rp16.000 sampai Rp20.000/m2/bulan. Bahkan di Thamrin City dan Plaza Kenari Mas,
IPL sebesar Rp60.000/m2/bulan. Di Menara Latumeten dan Gading Icon, penghuni
membayar listrik dan air sebesar tarif resmi pemerintah, tetapi di kawasan lain
yang masih dikuasai PPPSRS pelaku pembangunan harga itu ditambah sebesar 37
sampai 50 persen. Sinking fund yang seharusnya tidak boleh dipakai
karena sebagai dana cadangan untuk perbaikan besar malah dipakai oleh pengelola
atas nama pengembang. Dari situasi ini Menara Latumeten dan Gading Icon
memiliki saldo cukup besar (miliaran rupiah) sedangkan di kawasan lain selalu
defisit. Bahkan di ITC Mangga Dua dikabarkan bahwa PPPSRS yang dibentuk
pengembang berutang Rp100 miliar, yang harus ditanggung para pemilik.
ü
Di
banyak kawasan yang dikelola pelaku pembangunan, pertanggungjawaban penggunaan
uang pemilik dan penghuni tidak pernah dilakukan, meski dituntut para pemilik.
Beberapa pemilik yang memprotes penyimpangan hukum ini, ada yang malah
dimatikan listrik dan airnya sampai sekarang selama lebih setahun. Pemilik ini
pernah menggugat pelaku pembangunan karena ukuran unitnya lebih kecil dari yang
yang tertera dalam sertifikat, dan ia dimenangkan hakim serta uang pembeliannya
sebagian harus dikembalikan oleh penjual. Modus pemadaman listrik dan air ini
terjadi di mana-mana. Walaupun undang-undang menyebutkan bahwa yang berwenang
atas listrik adalah negara karena merupakan kebutuhan pokok vital masyarakat
Contoh
Aplikasi dari UU No.4 tahun 1992
Kasiba
(Kawasan Siap Bangun) yang terkandung dalam UU No.4 tahun 1992 adalah
sebuah kawasan yang telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dalam skala
besar.Dari segi pengembang Kasiba kurang menguntungkan karena memerlukan
investasi yang besar.(http://www.pengembangankawasan.net/upload/4_1992a.pdf Koran
Jakarta)
Kasus
dua janda pahlawan, Ibu Soetarti dan Ibu Rusmini yang mengalami kasus
dengan Lembaga Pegadaian dan digugat dengan pasal 36 ayat 4 UU NO 4 TAHUN
1992,"setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam
pasal 12 ayat 1 dipidana dgn pidana penjara selama-lamanya 2 tahun dan atau
denda setinggi-tingginya Rp.20.000.000"dituduh menempati rumah dinas yang
bukan menjadi hak milik Ibu Roestati dan Ibu Rusmini lagi karena sang suami
telah meninggal dunia yang terletak di Jaatinegara ,Jakarta Timur.Sedangkan isi
pasal 12 ayat 1,"penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada
persetujuan atau izin pemilik
2.3.
HUKUM PERIKATAN
Perikatan adalah suatu
perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang
satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu, dan juga merupakan suatu hubungan
hukum antara dua orang misalkan A berhak menuntut sesuatu kepada B dan B
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang menuntut tersebut bisa
disebut Kreditor dan Pihak yang wajib memenuhi tuntutan menuntut bisa disebut
Debitor. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang
tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan
antara dua orang yang membuatnya.
Perjanjian merupakan sumber
penting yang melahirkan perikatan. Memang, perikatan itu paling banyak
diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi sebagaimana sudah dikatakan tadi, ada
juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber-sumber lain ini
tercakup dengan nama undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari
perjanjian dan ada perikatan yang lahir dari undang-undang.
Sumber-sumber yang tercakup dalam
satu nama, yaitu undang-undang, diperinci lagi. Dibedakan antara undang-undang
saja, dengan undang-undang yang berhubungan dengan perbuatan orang, sedangkan
yang terakhir ini diperinci pula, yaitu dibedakan anatara perbuatan melawan
hukum.
Sumber-sumber hukum perikatan
yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari
undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang
dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi
menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan
KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
1.
Perikatan
yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
2.
Perikatan
yang timbul dari undang-undang
3.
Perikatan
terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (
onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
Sumber
perikatan berdasarkan undang-undang :
1.
Perikatan
( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau
karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2.
Persetujuan
( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3.
Undang-undang
( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul
dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
Azas-azas hukum
perikatan
ü ASAS KONSENSUALISME
Asas
konsnsualisme dapat disimpulkan dari Pasal 1320 ayat 1 KUHPdt.
Pasal
1320 KUHPdt : untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat sarat :
1.
Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya
2.
Kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian
3.
suatu
hal tertentu
4.
suatu sebab yang halal.
Pengertian kesepakatan
dilukiskan dengan sebagai pernyataan kehendak bebas yang disetujui antara
pihak-pihak ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
ü ASAS PACTA SUNT
SERVANDA
Asas
pacta sun servanda berkaitan dengan akibat suatu perjanjian. Pasal 1338 ayat
(1) KUHPdt:
· Perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang….”
· Para pihak harus
menghormati perjanjian dan melaksanakannya karena perjanjian itu merupakan
kehendak bebas para pihakASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
ü ASAS KEBEBASAN
BERKONTRAK
Pasal 1338 KUHPdt :
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi
mereka yang membuatnya”
Ketentuan
tersebut memberikan kebebasan parapihak untuk :
·
Membuat
atau tidak membuat perjanjian;
·
Mengadakan
perjanjian dengan siapapun;
·
Menentukan
isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
·
Menentukan
bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
Di
samping ketiga asas utama tersebut, masih terdapat beberapa asas hukum
perikatan nasional, yaitu :
1. Asas
kepercayaan;
2. Asas
persamaan hukum;
3. Asas
keseimbangan;
4. Asas
kepastian hukum;
5. Asas
moral;
6. Asas
kepatutan;
7. Asas
kebiasaan;
8. Asas
perlindungan;
Dalam
KUHpdt (BW) tidak diatur secara khusus apa yang dimaksud berakhirnya perikatan,
tetapi yang diatur dalam Bab IV buku III BW hanya hapusnya perikatan. Pasal
1381 secara tegas menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara
tersebut adalah:
·
Pembayaran.
·
Penawaran
pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi).
·
Pembaharuan
utang (novasi).
·
Perjumpaan
utang atau kompensasi.
·
Percampuran
utang (konfusio).
·
Pembebasan
utang.
·
Musnahnya
barang terutang.
·
Batal/
pembatalan.
·
Berlakunya
suatu syarat batal.
·
Dan
lewatnya waktu (daluarsa).
Terkait
dengan Pasal 1231 perikatan yang lahir karena undang-undang dan perikatan yang
lahir karena perjanjian. Maka berakhirnya perikatan juga demikian. Ada
perikatan yang berakhir karena perjanjian seperti pembayaran, novasi,
kompensasi, percampuran utang, pembebasan utang, pembatalan dan berlakunya
suatu syarat batal. Sedangkan berakhirnya perikatan karena undang–undang
diantaranya; konsignasi, musnahnya barang terutang dan daluarsa.
Agar
berakhirnya perikatan tersebut dapat terurai jelas maka perlu dikemukakan
beberapa item yang penting, perihal defenisi dan
ketentuan-ketentuan yang mengaturnya sehinga suatu perikatan/ kontrak dikatakan
berakhir:
·
Pembayaran
Berakhirnya
kontrak karena pembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 1382 BW
sampai dengan Pasal 1403 BW. Pengertian pembayaran dapat ditinjau secara sempit
dan secara yuridis tekhnis.
Pembayaran
dalam arti sempit adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur,
pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan
pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi
juga dalam bentuk jasa seperti jasa dokter, tukang bedah, jasa tukang cukur
atau guru privat.
Suatu
maslah yang sering muncul dalam pembayaran adalah masalah subrogasi. Subrogasi
adalah penggantian hak-hak siberpiutang (kreditur) oleh seorang ketiga yang
membayar kepada siberpiutang itu. Setelah utang dibayar, muncul seorang
kreditur yang baru menggantikan kreditur yang lama. Jadi utang tersebut hapus
karena pembayaran tadi, tetapi pada detik itu juga hidup lagi dengan orang ketiga
tersebut sebagai pengganti dari kreditur yang lama.
·
Konsignasi
Konsignasi terjadi apabila seorang kreditur menolak
pembayaran yang dilakukan oleh debitur, debitur dapat melakukan penawaran
pembayaran tunai atas utangnya, dan jika kreditur masih menolak, debitur dapat
menitipkan uang atau barangnya di pengadilan.
·
Novasi
Novasi diatur dalam Pasal 1413 Bw s/d 1424 BW.
Novasi adalah sebuah persetujuan, dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan
sekaligus suatu perikatan lain harus dihidupkan, yang ditempatkan di tempat
yang asli. Ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu novasi atau
pembaharuan utang yakni:
Apabila
seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang
mengutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya.
Novasi ini disebut novasi objektif.
Apabila
seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang
oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatannya (ini dinamakan novasi subjektif
pasif).
Apabila
sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk
menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari
perikatannya (novasi subjektif aktif)
·
Kompensasi
Kompensasi atau perjumpaan utang diatur dalam Pasal
1425 BW s/d Pasal 1435 BW. Yang dimaksud dengan kompensasi adalah penghapusan
masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah dapat
ditagih antara kreditur dan debitur (vide: Pasal 1425 BW). Contoh: A menyewakan
rumah kepada si B seharga RP 300.000 pertahun. B baru membayar setengah tahun
terhadap rumah tersebut yakni RP 150.000. Akan tetapi pada bulan kedua A
meminjam uang kepada si B sebab ia butuh uang untuk membayar SPP untuk anaknya
sebanyak Rp 150.000. maka yang demikianlah antara si A dan si b terjadi
perjumpaan utang.
·
Konfusio
Konfusio atau percampuran utang diatur dalam
Pasal 1436 BW s/d Pasal 1437 BW. Konfusio adalah percampuran kedudukan
sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu
(vide: Pasal 1436). Misalnya si debitur dalam suatu testamen ditunjuk
sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau sidebitur kawin dengan krediturnya
dalam suatu persatuan harta kawin.
BAB III
PENUTUP
3.1.KESIMPULAN
Menanggapi perihal UU
No 4 Tahun 1992 tentang Pemukiman ialah. Berdasarkan pengertian dari tiap
masing-masing definisi mengenai rumah, perumahan, beserta premukiman yang
secara luas, saya mengetahui definisi masing-masing dari sumber www.penataanruang.net
yang menjelaskan beberapa definisi tersebut. Rumah ialah bangunan yang
berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan
keluarga. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana
dan sarana lingkungan. sedangkan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup
di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan
yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian
dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Rumah/permukiman adalah sebagai pokok dasar yang pada hakekatnya semua manusia
di bumi menempati sebuah rumah/permukiman. Dimana permukiman seperti perumahan,
komplek, dan lain-lain memang dibutuhkan oleh khal layak yang dapat
melangsungkan kesejahteraan hidup mereka bersama keluarga. Wilayah permukiman
dapat berpengaruh dengan psikologi terhadap manusia itu sendiri dan sangat
perlu sekali permukiman dibuat serta dikembangkan demi kelangsungan hidup
mereka dan juga mengidentifikasikan kependudukan manusia di bangsa ini dengan
jelas yang dapat berlangsungnya ketertiban umum untuk bangsa dan
negara. Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada asas manfaat,
adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri,
keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup. Setiap warga negara memiliki
hak dan kewajiban untuk berperan meningkatkan kesejahteraan wilayah.
REFERENSI
Website :
DISA PRATIARA
21315983
3TB04
Komentar
Posting Komentar