UNDANG UNDANG YANG TERKAIT TENTANG PERATURAN PEMBANGUNAN

ZBAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Hukum adalah peraturan atau adat yg secara resmi dianggap mengikat, yg dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dsb) yg tertentu; keputusan (pertimbangan) yg ditetapkan oleh hakim (dl pengadilan); vonis
Sedangkan Pranata adalah interaksi antar individu/kelompok/kumpulan, pengertian individu dalam satu kelompok dan pengetian individu dalam satu perkumpulan memiliki makna yang berbeda.
Pembangunan adalah perubahan individu/kelompok dalam kerangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan hidup.
Hukum Pranata Pembangunan di Indonesia
Untuk membahas masalah hukum pranata pembangunan di Indonesia, pertama-tama kita harus mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud dengan hukum pranata pembangunan, menurut kamus besar bahasa Indonesia
Hukum Pranata Pembangunan adalah peraturan resmi yang mengikat yang mengatur tentang interaksi antar individu dalam melakukan perubahan untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan hidup.
Dalam arsitektur khususnya Hukum Pranata Pembangunan lebih memfokuskan pada peningkatan kesejahteraan hidup yang berhubungan dengan interaksi individu dengan lingkungan.
Interaksi yang terjadi menghasilkan hubungan kontrak antar individu yang terkait sepertiadalah pemilik (owner), konsultan (arsitek), kontraktor (pelaksana), dan unsur pendukung lainnya dalam rangka mewujudkan ruang/bangunan untuk memenuhi kebutuhan bermukim.
Hukum pranata pembangunan memiliki empat unsur :
·         Manusia : Manusia merupakan unsur pokok dan sumber daya utama.Karena manusialah yang bertugas sebagai pengelola juga pemakai hukum yang ada.Sehingga mausia jugalah yang menentukan arah pengembangan dari suatu pembangunan.
·         Sumber daya alam : Sumber daya alam disini menjadi material pembuatan suatu infrastruktur.Tanpa adanya sumber daya yang mendukung maka pembangunan akanterhambat.
Sumber daya alam perlu waktu dalam prosesnya untuk terbentuk kembali .


Untuk itu perlu aturan agar sumber daya alam ini tetap terjaga atau tidak di ekploitasi secara besar-besaran sehingga dapat pula dikembangkan atau bahkan melakukan penelitian untuk menemukan sesutu yang baru sembari sumber daya alam yang lain terbentuk kembali.Selain itu juga perlu dilakukan uji untuk menyatakan bahwa material tersebut aman atau tidak.
·         Modal : Modal berperan  dalam pesat tidaknya pembangunan suatu daerah.Semakin pesat daerah itu berkembang maka semakin banyak pula modalnya.Harus ada aturan yang mengatur agar para pemilik modal yang besar ini tidak seenaknya  sendiri melakukan pembangunan.Disini peraturan/hukum  berperan dalam kontrol para pemilik modal ini agar tidak sampai mengganggu unsur yang lain seperti SDA ataupun manusia juga lingkungan.
·         Teknologi : Teknologi berperan dalam efisiensi pembangunan sehingga dapat mempermudah dan mempercepat suatu proses pembangunan.Aturan disini berperan dalam pembuatan standarisasi teknologi tertentu sesuai kebutuhan masing-masing pembangunan agar kualitas pembangunan tersebut tidak melenceng(punya kualitas rendah) .
Hukum pranata pembangunan mengatur interaksi antar pelaku pembangunan baik secara individu/kelompok sesuai tatanan hukum dan aturan yang berlaku sehingga terwujudnya kenyaman dan kesejahteraan hidup.
Hukum dan pranata dalam bidang arsitektur lebih memfokuskan penyejehteraan hidup individu/kelompok dan interaksinya dengan lingkungan binaan. Interaksi yang terjadi menghasilkan hubungan kontrak antar individu/kelompok yang terkait seperti halnya adalah pemilik (owner), konsultan (arsitek), kontraktor (pelaksana), dan unsur pendukung lainnya dalam rangka mewujudkan tatanan ruang/bangunan untuk memenuhi kebutuhan individu baik dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup maupun pelestarian lingkungan.
Struktur Hukum Pranata di Indonesia :
1.      Legislatif (MPR – DPR) Pembuat produk hukum
2.      Eksekutif (Presiden – pemerintahan) pelaksana perUU yang dibantu oleh kepolisian (POLRI)
3.      Yudikatif (MA / MK) sebagai lembaga penegak keadilan Mahkamah Agung (MA) beserta pengadilan tinggi (PT) dan Pengadilan Negeri (PN) se Indonesia mengadili perkara yang kasuistik; sedangkan Mahkamah Konstitusi (MK) mengadili perkara peraturan perUU
4.      Lawyer, pihak yang mewakili klien untuk berperkara di pengadilan, dsb.
5.       
1.2. RUMUSAN MASALAH
1.2.1    Bagaimana aspek hukum peraturan UU No 4 Tahun 1992?
1.2.2    Bagaimana saja isi dari kebijakan hukum tentang pembangunan pemukiman?
1.2.3    Apa saja isi dari hukum perikatan yang berlaku di negara ini?






1.3    TUJUAN
1.3.1    Mengerti aspek hukum dan pranata pembangunan lebih tepatnya tentang UU No. 4 Tahun 1992
1.3.2    Mengetahui spesifikasi dari rumah susun
1.3.3    Memahami kasus apa aja yang masuk ke dalam pelanggaran  hukum pranata pembangunan



































BAB II
PEMBAHASAN
2.1.ASPEK HUKUM PERATURAN UU NO. 4 TAHUN 1992
Untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dilaksanakan pembangunan nasional, yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah, dalam suatu masyarakat Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila.
Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Perumahan dan permukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu   merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya, dan menampakkan jati dirinya.
Untuk  menjamin kepastian dan  ketertiban hukum dalam  pembangunan dan  pemilihan setiap pembangunan rumah  hanya dapat dilakukan di atas tanah yang dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Sistem penyediaan tanah  untuk  perumahan dan  permukiman harus  ditangani secara  nasional karena tanah merupakan sumber daya alam yang tidak dapat bertambah akan tetapi harus digunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Proses penyediaannya harus dikelola dan dikendalikan oleh pemerintah agar supaya penggunaan dan pemanfaatannya dapat menjangkau masyarakat secara adil dan merata tanpa menimbulkan kesenjangan ekonomi dan sosial dalam proses bermukimnya masyarakat.
Untuk  mewujudkan perumahan dan  permukiman dalam  rangka  memenuhi kebutuhan jangka pendek, menengah dan panjang dan sedang dengan rencana tata ruang, suatu wilayah permukiman ditetapkan sebagai kawasan siap bangun yang dilengkapi jaringan prasarana primer dan sekunder lingkungan.
Penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman mendorong dan memperkukuh demokrasi ekonomi serta memberikan kesempatan yang sama dan saling menunjang antara badan usaha negara, koperasi, dan swasta berdasarkan asas kekeluargaan.
Pembangunan   di   bidang   perumahan   dan   permukiman   yang   bertumpu   pada   masyarakat memberikan hak dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berperan serta.
Disamping usaha peningkatan pembangunan perumahan dan permukiman perlu diwujudkan adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pemanfaatan dan pengelolaannya.
Sejalan dengan peran serta  masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan permukiman, pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk melakukan pembinaan dalam wujud pengaturan dan pembimbingan, pendidikan dan pelatihan, pemberian bantuan dan kemudahan, penelitian dan pengembangan yang meliputi berbagai aspek terkait antara lain tata ruang, pertanahan,prasarana

lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia serta peraturan perundang-undangan.
HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN UNDANG - UNDANG NO.4 tahun 1992 tentang Perumahan & Pemukiman. Dalam Undang - Undang ini terdapat 10 BAB (42pasal) antara lain yang mengatur tentang :
1. Ketentuan Umum ( 2 pasal )
2. Asas dan Tujuan (2 pasal )
3. Perumahan ( 13 pasal )
4. Pemukiman ( 11 pasal )
5. Peran Serta Masyarakat ( 1 pasal )
6. Pembinaan (6 pasal )
7. Ketentuan Piadana ( 2 pasal )
8. Ketentuan Lain - lain ( 2 pasal )
9. Ketentuan Peralihan ( 1 pasal )
10. Ketentuan Penutup ( 2 pasal )

2.2.KEBIJAKAN TENTANG RUMAH SUSUN
Ø RUSUNAWA atau Rumah Susun Sederhana Sewa
      adalah Rusuna yang status kepemilikannya adalah Hak Milik (mengikuti pola strata title), merupakan tipologi baru dalam rangka mempercepat penyediaan unit hunian guna memenuhi kebutuhan yang sudah sangat mendesak. Proses pengadaannya melibatkan pihak swasta  karena keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah. Rusunawa umumnya memiliki tampilan yang kurang lebih sama dengan rusunami, namun bedanya penggunanya harus menyewa dari pengembangnya.
RUSUNAWA
RUSUNAMI





Ciri utama hunian Rusuna adalah luas lantai unitnya yang kecil, sekedar memenuhi kebutuhan minimal bagi satu keluarga serta berbagi prasarana / utilitas / fasilitas tertentu. Tujuannya adalah untuk mendapatkan harga yang terjangkau serta biaya operasi atau pemeliharaan yang rendah. Padahal kebanyakan masyarakat golongan ini rata-rata memiliki jumlah anggota yang cukup banyak, artinya rasio penggunaan ruang menjadi semakin kecil. Hal ini berdampak pada rendahnya rasio penggunaan luas lantai, dengan kata lain jumlah populasi dibanding luas lantai menjadi tinggi. Dengan KLB tertentu akan ditempati oleh populasi yang lebih besar dibanding penggunaan fungsi lainnya (hunian mewah, perkantoran, komersial, dll).
Pengelolaan Rumah Susun, Pengelolaan pada rumah susun meliputi kegiatan operasional, pemeliharaan, dan perawatan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan gedung beserta prasarana dan sarana saranaya agar selalu baik fungsi, sedangkan perawatan merupakan kegiatan memperbaiki dan mengganti bagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, sarana prasarana agar bangunan gedung tetap baik fungsi. Kegiatan pengelolaan pada Rumah Susun Umum Milik dan Rumah Susun Umum Komersial wajib dilaksanakan oleh pengelola yang berbadan hukum dan mendapatkan izin usaha dari pemerintah daerah.
ü Pasal 74 ayat (1) UU Rumah Susun mewajibkan pemilik Sarusun untuk membentuk Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS). PPPSRS merupakan badan hukum yang bertugas untuk mengurus kepentingan para pemilik dan penghuni yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan benda bersama, bagian ebrsama, tanah bersama, dan penghunian yang dituangkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PPPSRS.
ü Peraturan mengenai Rusun
ü Undang-Undang tentang Rumah Susun (Rusun) akhirnya disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi Undang-Undang Rusun (UU Rusun) lewat sidang paripurna pada 18 Oktober 2011. Undang-Undang ini merupakan produk hukum kedua di bidang perumahan yang dihasilkan dalam dua tahun terakhir, setelah sebelumnya disahkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. 
ü UU Rusun ini terdiri dari 19 Bab dan 120 Pasal yang diharapkan dapat mendorong pembangunan hunian vertikal bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di Indonesia. Legislatif membutuhkan waktu panjang hingga tiga kali masa persidangan untuk menyelesaikan pembahasan 711 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
ü UU Rusun yang baru disahkan itu merupakan amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman, termasuk angka kekurangan (backlog) rumah yang terus meningkat. DPR dan pemerintah menjamin produk undang-undang hasil amandemen ini lebih komprehensif.
ü Sesuai pasal 5 ayat 1 dan 2 UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun menyebutkan bahwa negara bertanggungjawab atas penyelenggaraan rumah susun yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah  yakni Menteri pada tingkat nasional, Gubernur di tingkat provinsi serta Bupati/Walikota pada tingkat Kabupaten/ Kota. Selain itu mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rusun pasal 73 bahwa pengaturan dan pembinaan dilakukan oleh Kemenpera terkait Kebijakan Umum, Kementerian PU terkait kebijakan teknis dan kemudahan perkreditan dan perpajakan diatur Kemenkeu serta bentuk dan tata cata pembuatan buku tanah dan penerbitan sertifikat hak milik atas satuan Rusun oleh BPN.
Menurut peraturan perundangan, para pihak yang terlibat dalam pembangunan dan pengelolaan Rumah Susun adalah:
1.    Penyelenggaraan pembangunan, dalam hal ini Pengembang;
2.    Perhimpunan penghuni, yang akan dibentuk para penghuni (owner unit) dengan dibantu oleh penyelenggara pembangunan dan dituangkan dalam suatu Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang wajib dipatuhi oleh para penghuni/pemilik;
3.    Badan Pengelola, yang akan ditunjuk oleh perhimpunan penghuni untuk mengelola Rumah Susun tersebut dengan upah dan biaya-biaya yang akan disetujui oleh Rapat Umum Anggota Perhimpunan penghuni. Badan pengelola ini dapat saja dibentuk oleh perhimpunan sendiri, tetapi lazimnya pengelolaan diserahkan kepada Properti manajemen yang profesional;
4.    Penghuni, dalam hal ini para pemilik unit sarusun yang akan menjadi anggota Perhimpunan Penghuni dan memiliki hak suara dalam menentukan jalannya pengelolaan.
Konsekuensi dari adanya hak bersama, tentunya ada pula kewajiban bersama untuk menjaga, merawat, dan mengoperasikan benda-benda/bagian-bagian bersama tersebut. Oleh karenanya, kewajiban para penghuni untuk menanggung biaya yang meliputi:
1.    Biaya Pengelolaan (Service Charge), sebaiknya nilainya ditentukan di muka oleh pengembang dan dicantumkan dalam PPJB. Nantinya dapat berubah sesuai dengan
2.    kebutuhan setelah Perhimpunan Penghuni definitif terbentuk, Dipergunakan oleh Badan Pengelola untuk mengoperasikan Rumah Susun tersebut, termasuk untuk membayar gaji-gaji pegawai Badan Pengelola;
3.    Dana Cadangan (Sinking Fund), yang akan dipergunakan untuk perbaikan-perbaikan besar Rumah Susun. Contoh, pengecatan (re-painting), lift atau penggantian/up grade M/E, dan lain-lain;
4.    Rekening-rekening, dibayarkan untuk penggunaan masing-masing unit, meliputi listrik, air, dan telepon.
Hal-hal semacam di atas tidak dikenal dalam kepemilikan/pengelolaan Single House. Yang perlu diperhatikan dalam memilih untuk membeli Apartemen, di antaranya:
·       Lokasi, apakah cukup prospektif atau berkembang sehingga masih berpeluang untuk adanya kenaikan harga? (Jika Anda ingin berinvestasi);
·       Bukti kepemilikan tanah oleh pengembang harus sudah ada pada saat dipasarkan;
·       Izin lokasi (SIPPT jika di DKI Jakarta) untuk memastikan peruntukan tanahnya agar izin-izin lainnya dipastikan dapat diterbitkan oleh instansi yang berwenang;
·       Bonafiditas, pengembang termasuk pengalaman pengembang beserta tim konsultannya, untuk meyakinkan Anda bahwa proyek Apartemen itu tidak asal jadi;
·       Draft perjanjian. Mintalah draft PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) pada saat Anda membayar angsuran I. Pelajari dengan teliti hal-hal yang dapat merugikan Anda, khususnya luas ukuran unit, tanggal serah terima, denda keterlambatan, spesifikasi, serta pemutusan sepihak.
Jika terdapat hal-hal yang kurang cocok, dapat dinegosiasikan dengan pengembang.
Permasalahan hukum yang dialami para pembeli rumah susun (Rusun) timbul dari hal-hal sebagai berikut:
Pada saat membeli Rusun umumnya para pembeli buta sekali terhadap undang-undang atau hukum yang berlaku bagi Rusun;
Para pembeli menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual-Beli (PPJB) yang menyimpang, yang mengandung banyak klausul baku yang sebenarnya dilarang oleh UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Karena pembeli telah menandatangani PPJB yang panjang lebar, tulisan kecil, didesak kenaikan harga, dan tidak boleh dibawa pulang itu, akibatnya penjual selalu memakai PPJB itu sebagai alat paksa kepada para pembeli. Akibat selanjutnya para pembeli menjadi terhalang untuk menjalankan haknya sebagai konsumen;
PPJB yang benar harusnya tidak mengandung peraturan maupun sanksi tentang hal-hal yang berhubungan dengan penghunian maupun pengelolaan Rusun nantinya. PPJB yang menyimpang sebenarnya batal demi hukum, namun yang demikian itu pun para pembeli tidak tahu;

Karena para pembeli buta hukum, mereka tidak tahu bahwa mereka wajib berhimpun dalam Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) seperti tertera pada Pasal 74 Ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun;
Dalam UU Rumah Susun itu PPPSRS diberi status Badan Hukum, sebagai representasi yang sah secara hukum dari seluruh pemilik dan penghuni untuk menjalankan segala sesuatunya buat kepentingan bersama, di luar Rapat Umum Anggota. Jadi ada kekosongan dalam kesadaran hukum tentang Rusun di kalangan para pembeli.
Ketidaksadaran hukum para pembeli ini dimanfaatkan oleh penjual Rusun atau pelaku pembangunan dengan cara sebagai berikut:
ü  Meski Pasal 75 Ayat (1) UU Rumah Susun mengatakan bahwa pelaku pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya PPPSRS (hanya memfasilitasi), tetapi ia malah membentuk dan menguasai PPPSRS yang dibentuk secara di luar prosedur hukum. Ini menjadi kenyataan yang berlangsung selama puluhan tahun dan diakui oleh para pemilik;
ü  Pelaku pembangunan membuat aturan tata tertib Rapat Umum, menyelenggarakan Rapat Umum Anggota, dan mengesahkan AD/ART, padahal secara hukum yang boleh menyelenggarakan Rapat Umum Pembentukan PPPSRS hanyalah para pemilik yang sekaligus sebagai penghuni Rusun. Para penghuni non-pemilik oleh undang-undang tidak diberikan hak suara memilih dan dipilih dalam Rapat Pembentukan PPPSRS karena mereka bukan pemilik;
ü  Pelaku pembangunan atau penjual, apabila masih punya unit yang belum dijual, secara hukum ia hanya berstatus pemilik atas unitnya seperti halnya para pembeli. Tidak ada pasal yang mengatakan bahwa penjual boleh membentuk PPPSRS, karena hak suaranya hanya satu;
ü  Yang menyedihkan lagi, Pemerintah Daerah DKI Jakarta melalui tangan Dinas Perumahan dan Gedung mengesahkan dan mengakui adanya PPPSRS, tata tertib Rapat Umum, dan AD/ART bentukan penjual atau pelaku pembangunan yang nyata-nyata merugikan posisi hukum para pembeli. Pengesahan oleh Pemda ini selalu menjadi senjata pamungkas bagi penjual Rusun atau pelaku pembangunan bila ada pembeli yang melakukan protes kepadanya;
ü  Dalam AD/ART yang disahkan itu biasanya mengandung tiga penyimpangan undang-undang yang sangat nyata, antara lain yakni a) Kepemilikan hak suara dalam Rapat Umum didasarkan atas Nilai Perbandingan Proporsional (NPP). Dengan demikian siapa yang kaya, banyak punya unit, memiliki hak suaranya lebih dari yang punya hanya satu unit; b) Penggunaan hak suara dapat diwakilkan dengan cara memberi surat kuasa; c) Penyelewengan hukum atas Pasal 74 Ayat (1) UU Rumah Susun yang berbunyi, 'Pemilik Sarusun wajib membentuk PPPSRS' dengan menambahkan kata 'terutama' di depan kalimat asli ayat tersebut menjadi 'Terutama pemilik Sarusun wajib membentuk PPPSRS'. Dengan penambahan kata 'terutama' itu akibatnya siapa saja wajib membentuk PPPSRS; d) Keadaan lemahnya posisi hukum para pembeli ini lebih diberatkan lagi dengan aksi penjual untuk menunda pemecahan sertifikat kepemilikan untuk memungkinkan dibuatnya Akta Jual Beli (AJB) yang kemudian harus disusul Balik Nama kepemilikan.Karena mundurnya waktu pemindahan hak ini kemudian pelaku pembangunan masih bisa mendaftarkan Rusun yang telah dilunasi para pembeli sebagai miliknya dalam penghitungan aset dalam laporan keuangan dalam Penawaran Umum Perdana maupun Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan. Karena tertundanya pengalihan hak milik (dalam sertfikat) yang sangat mungkin disengaja penjual, pembeli yang telah membayar lunas dikatakan bukan pemilik karena tidak memiliki sertifikat. KUHPerdata mengatur bahwa pembeli yang telah membayar lunas barang yang dibeli ia dinyatakan sebagai pemilik sah atas barang yang dibeli. Ini merujuk pada KUH Perdata Pasal 1474, 1475, 1477, dan 1482;
ü  Para pemilik telah membuat protes dan meminta kebenaran ditegakkan tetapi sampai sekarang belum berhasil karena pemerintah belum membantu dan tetap mengakui pelaku pembangunan sebagai pemilik PPPSRS, tata tertib Rapat serta AD ART yang dibuat pelaku pembangunan;
ü  Para pemilik yang sadar hukum berupaya susah payah membentuk PPPSRS secara taat tetapi sampai sekarang belum disahkan atau diakui keberadaannya oleh pemerintah.Dinas Perumahan pura-pura berlaku tidak memihak dengan cara menjadi penengah antara PPPSRS milik pelaku pembangunan dan PPPSRS asli milik para pemilik Rusun. Sebenarnya pemerintah mestinya menjadi eksekutor hukum bukan menjadi penengah antara si pelanggar hukum melawan pihak yang taat Hukum. Sangat menyedihkan bahwa para oknum pemegang kekuasaan eksekutif sepertinya berpihak kepada pelanggar hukum dan tidak mengusahakan penegakan hukum seperti seharusnya;
ü  Para pembeli, karena kurang tahu hukum, biasanya tidak mempermasalahkan dasar penyimpangan hukumnya tetapi hanya keberatan atas akibatnya yang langsung mengenai dirinya seperti: a) Tampilnya pengelola menjadi penguasa di Rusun mewakili pelaku pembangunan. Memang undang-undang mewajibkan pelaku pembangunan melakukan pengelolaan Rusun paling lama satu tahun dalam masa transisi, sebelum PPPSRS terbentuk. Tetapi setelah itu ia wajib mengalihkan hak pengelolaan kepada representasi para pemilik atau gabungan pemilik yaitu PPPSRS; b) Pengelola atas nama pelaku pembangunan selalu secara sepihak menaikkan tarif Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) tanpa berkonsultasi dengan para pemilik
ü  Sebagai gambaran, di kawasan yang telah diatur para pemilik sendiri seperti Menara Latumeten dan Gading Icon, IPL hanya sebesar Rp7.000/m2/bulan tetapi di kawasan yang masih dikuasai PPPSRS pelaku pembangunan kebanyakan IPL sebesar antara Rp16.000 sampai Rp20.000/m2/bulan. Bahkan di Thamrin City dan Plaza Kenari Mas, IPL sebesar Rp60.000/m2/bulan. Di Menara Latumeten dan Gading Icon, penghuni membayar listrik dan air sebesar tarif resmi pemerintah, tetapi di kawasan lain yang masih dikuasai PPPSRS pelaku pembangunan harga itu ditambah sebesar 37 sampai 50 persen. Sinking fund yang seharusnya tidak boleh dipakai karena sebagai dana cadangan untuk perbaikan besar malah dipakai oleh pengelola atas nama pengembang. Dari situasi ini Menara Latumeten dan Gading Icon memiliki saldo cukup besar (miliaran rupiah) sedangkan di kawasan lain selalu defisit. Bahkan di ITC Mangga Dua dikabarkan bahwa PPPSRS yang dibentuk pengembang berutang Rp100 miliar, yang harus ditanggung para pemilik.
ü  Di banyak kawasan yang dikelola pelaku pembangunan, pertanggungjawaban penggunaan uang pemilik dan penghuni tidak pernah dilakukan, meski dituntut para pemilik. Beberapa pemilik yang memprotes penyimpangan hukum ini, ada yang malah dimatikan listrik dan airnya sampai sekarang selama lebih setahun. Pemilik ini pernah menggugat pelaku pembangunan karena ukuran unitnya lebih kecil dari yang yang tertera dalam sertifikat, dan ia dimenangkan hakim serta uang pembeliannya sebagian harus dikembalikan oleh penjual. Modus pemadaman listrik dan air ini terjadi di mana-mana. Walaupun undang-undang menyebutkan bahwa yang berwenang atas listrik adalah negara karena merupakan kebutuhan pokok vital masyarakat

Contoh Aplikasi dari UU No.4 tahun 1992


Kasiba (Kawasan Siap Bangun)  yang terkandung dalam UU No.4 tahun 1992 adalah sebuah kawasan yang telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dalam skala besar.Dari segi pengembang Kasiba kurang menguntungkan karena memerlukan investasi yang besar.(http://www.pengembangankawasan.net/upload/4_1992a.pdf Koran Jakarta)
 Kasus dua  janda pahlawan, Ibu Soetarti dan Ibu Rusmini yang mengalami kasus dengan Lembaga Pegadaian dan digugat dengan pasal 36 ayat 4 UU NO 4 TAHUN 1992,"setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 12 ayat 1 dipidana dgn pidana penjara selama-lamanya 2 tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp.20.000.000"dituduh menempati rumah dinas yang bukan menjadi hak milik Ibu Roestati dan Ibu Rusmini lagi karena sang suami telah meninggal dunia yang terletak di Jaatinegara ,Jakarta Timur.Sedangkan isi pasal 12 ayat 1,"penghunian rumah oleh bukan pemilik hanya sah apabila ada persetujuan atau izin pemilik

2.3. HUKUM PERIKATAN
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu, dan juga merupakan suatu hubungan hukum antara dua orang misalkan A berhak menuntut sesuatu kepada B dan B berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang menuntut tersebut bisa disebut Kreditor dan Pihak yang wajib memenuhi tuntutan menuntut bisa disebut Debitor. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.
Perjanjian merupakan sumber penting yang melahirkan perikatan. Memang, perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi sebagaimana sudah dikatakan tadi, ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber-sumber lain ini tercakup dengan nama undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari perjanjian dan ada perikatan yang lahir dari undang-undang.
Sumber-sumber yang tercakup dalam satu nama, yaitu undang-undang, diperinci lagi. Dibedakan antara undang-undang saja, dengan undang-undang yang berhubungan dengan perbuatan orang, sedangkan yang terakhir ini diperinci pula, yaitu dibedakan anatara perbuatan melawan hukum.
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
1.      Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
2.      Perikatan yang timbul dari undang-undang
3.       Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
1.    Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2.    Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3.    Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
          Azas-azas hukum perikatan
ü  ASAS KONSENSUALISME
Asas konsnsualisme dapat disimpulkan dari Pasal 1320 ayat 1 KUHPdt.
Pasal 1320 KUHPdt : untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat sarat :
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3.      suatu hal tertentu
4.       suatu sebab yang halal.
Pengertian kesepakatan dilukiskan dengan sebagai pernyataan kehendak bebas yang disetujui antara pihak-pihak ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
ü  ASAS PACTA SUNT SERVANDA
Asas pacta sun servanda berkaitan dengan akibat suatu perjanjian. Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt:
·       Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang….”
·       Para pihak harus menghormati perjanjian dan melaksanakannya karena perjanjian itu merupakan kehendak bebas para pihakASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
ü  ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
Pasal 1338 KUHPdt : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”
Ketentuan tersebut memberikan kebebasan parapihak untuk :
·       Membuat atau tidak membuat perjanjian;
·       Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
·       Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
·      Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
Di samping ketiga asas utama tersebut, masih terdapat beberapa asas hukum perikatan nasional, yaitu :
1.      Asas kepercayaan;
2.      Asas persamaan hukum;
3.      Asas keseimbangan;
4.      Asas kepastian hukum;
5.      Asas moral;
6.      Asas kepatutan;
7.      Asas kebiasaan;
8.      Asas perlindungan;

            Dalam KUHpdt (BW) tidak diatur secara khusus apa yang dimaksud berakhirnya perikatan, tetapi yang diatur dalam Bab IV buku III BW hanya hapusnya perikatan. Pasal 1381 secara tegas menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah:
·       Pembayaran.
·      Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi).
·       Pembaharuan utang (novasi).
·       Perjumpaan utang atau kompensasi.
·       Percampuran utang (konfusio).
·       Pembebasan utang.
·       Musnahnya barang terutang.
·       Batal/ pembatalan.
·       Berlakunya suatu syarat batal.
·       Dan lewatnya waktu (daluarsa).
            Terkait dengan Pasal 1231 perikatan yang lahir karena undang-undang dan perikatan yang lahir karena perjanjian. Maka berakhirnya perikatan juga demikian. Ada perikatan yang berakhir karena perjanjian seperti pembayaran, novasi,  kompensasi, percampuran utang, pembebasan utang, pembatalan dan berlakunya suatu syarat batal. Sedangkan  berakhirnya perikatan karena undang–undang diantaranya; konsignasi, musnahnya barang terutang dan daluarsa.
            Agar berakhirnya perikatan tersebut dapat terurai jelas maka perlu dikemukakan beberapa item yang penting,  perihal defenisi dan ketentuan-ketentuan yang mengaturnya sehinga suatu perikatan/ kontrak dikatakan berakhir:
·       Pembayaran
Berakhirnya kontrak karena pembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal  1382 BW sampai dengan Pasal 1403 BW. Pengertian pembayaran dapat ditinjau secara sempit dan secara yuridis tekhnis.
Pembayaran dalam arti sempit adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur, pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk jasa seperti jasa dokter, tukang bedah, jasa tukang cukur atau guru privat.
Suatu maslah yang sering muncul dalam pembayaran adalah masalah subrogasi. Subrogasi adalah penggantian hak-hak siberpiutang (kreditur) oleh seorang ketiga yang membayar kepada siberpiutang itu. Setelah utang dibayar, muncul seorang kreditur yang baru menggantikan kreditur yang lama. Jadi utang tersebut hapus karena pembayaran tadi, tetapi pada detik itu juga hidup lagi dengan orang ketiga tersebut sebagai pengganti dari kreditur yang lama.
·       Konsignasi
Konsignasi terjadi apabila seorang kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh debitur, debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya, dan jika kreditur masih menolak, debitur dapat menitipkan uang atau barangnya di pengadilan.
·       Novasi
Novasi diatur dalam Pasal 1413 Bw s/d 1424 BW. Novasi adalah sebuah persetujuan, dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain harus dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli. Ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu novasi atau pembaharuan utang yakni:
Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya. Novasi ini disebut novasi objektif.
Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatannya (ini dinamakan novasi subjektif pasif).
Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya (novasi subjektif aktif)
·       Kompensasi
Kompensasi atau perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425 BW s/d Pasal 1435 BW. Yang dimaksud dengan kompensasi adalah penghapusan masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur dan debitur (vide: Pasal 1425 BW). Contoh: A menyewakan rumah kepada si B seharga RP 300.000 pertahun. B baru membayar setengah tahun terhadap rumah tersebut yakni RP 150.000. Akan tetapi pada bulan kedua A meminjam uang kepada si B sebab ia butuh uang untuk membayar SPP untuk anaknya sebanyak Rp 150.000. maka yang demikianlah antara si A dan si b terjadi perjumpaan utang.

·        Konfusio
Konfusio atau percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 BW  s/d Pasal 1437 BW. Konfusio adalah percampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu (vide: Pasal 1436). Misalnya si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau sidebitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin.













BAB III
PENUTUP
3.1.KESIMPULAN
Menanggapi perihal UU No 4 Tahun 1992 tentang Pemukiman ialah. Berdasarkan pengertian dari tiap masing-masing definisi mengenai rumah, perumahan, beserta premukiman yang secara luas, saya mengetahui definisi masing-masing dari sumber www.penataanruang.net yang menjelaskan beberapa definisi tersebut. Rumah ialah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau  lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. sedangkan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau  lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Rumah/permukiman adalah sebagai pokok dasar yang pada hakekatnya semua manusia di bumi menempati sebuah rumah/permukiman. Dimana permukiman seperti perumahan, komplek, dan lain-lain memang dibutuhkan oleh khal layak yang dapat melangsungkan kesejahteraan hidup mereka bersama keluarga. Wilayah permukiman dapat berpengaruh dengan psikologi terhadap manusia itu sendiri dan sangat perlu sekali permukiman dibuat serta dikembangkan demi kelangsungan hidup mereka dan juga mengidentifikasikan kependudukan manusia di bangsa ini dengan jelas yang dapat berlangsungnya ketertiban umum untuk bangsa dan negara. Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup. Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk berperan meningkatkan kesejahteraan wilayah.














REFERENSI
Website :

DISA PRATIARA
21315983
3TB04

Komentar

Postingan Populer